Pengukuhan Jati Diri Melayu Jambi
Thursday, 08 November 2007 | |
Oleh: Dr Maizar Karim Elha Hum* Melayu Jambi sebagai salah satu kelompok subetnis Melayu di Nusantara, saat ini berada pada ambang krisis identitas. Jati diri sebagai kelompok etnis Melayu Jambi telah digerogoti oleh berbagai arus. Arus yang paling dominan adalah globalisasi. Arus ini menggiring dengan deras budaya asing, sehingga budaya lokal Melayu Jambi terpinggirkan atau mungkin lambat laun hilang tak jelas kabar dan kuburnya. Hal ini dapat dipahami, Jambi adalah wilayah cukup luas dan penduduknya berjumlah relatif besar. Maka tak pelak lagi Jambi amat tepat untuk dijadikan pasar bagi penjualan hasil (produk) penemuan negara-negara indusri maju. Seiring dengan masuknya hasil penemuan baru tersebut, yang datang secara beruntun dan sulit dihindarkan, maka nilai-nilai budaya luar yang tidak semuanya sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan norma-norma masyarakat pun tidak dapat dihindari. Materialisme, individualisme, dan hedonisme, misalnya, menyusup dan mencari tanah subur. Sementara itu, kesiapan jiwani (mental) masyarakat belum mencapai titik mantap. Bagaimana mungkin masyarakat desa yang tingkat pendidikannya masih rendah bisa menyaring luberan informasi yang menemukan jalannya lewat media cetak dan pandang-dengar (audio visual)? Dalam keadaan demikian, pola hidup konsumerisme berpeluang untuk semakin menggejala. Padahal kemampuan untuk menghasilkan (keproduktifan) dan daya cipta (kekreatifan) rakyat belum seberapa. Kesenjangan antara keinginan dan kemampuan pun tercipta. Celah rawan antara harapan dan kenyataan pun menguak. Ditilik dari ranah nilai-nilai, kita menyaksikan betapa nilai ekonomi tampil mengungguli nilai-nilai lainnya, seperti teori, solidaritas, agama, dan seni. Seseorang, baru dianggap berhasil bila mana hidupnya bergelimang harta. Dia merasa kehormatan, harkat, dan martabat manusia semata-mata ditentukan oleh tingkat pendapatannya. Kemiskinan dilihat dan diartikan menurut ukuran ekonomi. Cara pandang (word-view) yang berakar dari materialisme itu menggejala pula di Indonesia dan menggerogoti masyarakat daerah Jambi. Sebagai akibatnya, timbullah persaingan tajam dalam menjangkau kepuasan ekonomis, ragawi, dan duniawi. Mereka yang memiliki modal selalu tampil sebagai pemenang. Selebihnya terpuruk ke belakang sebagai orang-orang yang kalah. Mereka yang terpuruk ke belakang cukup banyak jumlahnya, tersingkir oleh sengitnya persaingan tajam yang melecehkan nilai-nilai kebersamaan (solidaritas) dan kemanusian. Keresahan dan ketidakpastian di kalangan masyarakat tentulah semakin meningkat manakala pelaksanaan hukum ternyata timpang, tidak lagi memihak pada keadilan dan kebenaran. Masyarakat pun kehilangan pegangan. Sudah terjerembab dalam lembah kemiskinan ragawi, terjangkit pula kemiskinan jiwani. Dengan demikian, masyarakat kehilangan daya hidupnya, karena mereka kehilangan inti kebudayaannya. Mereka tercerabut dari akar budayanya, yang pada gilirannya akan kehilangan jati diri, harkat, dan martabatnya. Untuk mengatasi semua problematika di atas, bukanlah pekerjaan yang mudah. Kita harus mencari peluang yang strategis. Peluang yang perlu disiasati adalah pada bidang pendidikan. Baik pendidikan formal, informal, maupun nonformal.adalah ranah yang harus dikelola dengan sistem pendidikan berbasis kebudayaan. Dalam kenyataannya, sistem pendidkkan di Indonesia masih menganut sistem pendidikan barat. Sejak introduksi pada awal abad 20, sistem pendidikan berorientasi pada ciri yang ekonometris. Hal itu tampak pada tujuan pendidikan yang lebih banyak berorientasi pada kepentingan ekonomi. Dasar pendekatannya pun bersifat empirik dan berkecenderungan memperlakukan setiap disiplin ilmu sebagai science (dalam konsep positivisme), termasuk juga pada disiplin “ilmu” seni dan humaniora. Malah pada abad 21 ini, sistem pendidkan di Indonesia justru berpijak pada sistem pendidkkan liberal. Agaknya untuk membangun sistem pendidkkan berbasis kebudyaan, apalagi kebudayaan Melayu adalah sebuah utopia atau mungkin hanya sebagai menggantang asap. Dinding-dinding beton materialisme dan individualisme menghalangi spiritualisme dan humanisme. Namun demikian, kita tidak harus putus asa dan pesimistis. Untuk menembus tembok-tembok tersebut harus dilakukan secara evolusioner.. Jati diri kelompok etnis Melayu yang spiritualistis harus tetap dikukuhkan, sehingga dalam kehidupan masyarakatnya tercipta harmoni, baik antara dunia material dan spiritual ataupun antara dunia mikrokosmos dengan makrokosmos. Peluang strategis yang masih bisa dilakukan, antara lain dengan memasukkan unsur-unsur budaya lokal tersebut dalam prosesi pendidikan kita, terutama dalam sistem pembelajaran. Sistem pembelajaran dalam prosesi pendidikan yang dimaksud di sini adalah daya upaya pendidikan yang dilakukan guru-guru pada satu sekolah atau antarsekolah di suatu lokasi daerah tertentu semata-mata dengan tujuan mendorong efektivitas hasil belajar baik dalam artian pembelajaran di kelas maupun di tempat-tempat pembinaan lain. Jadi, sistem instruksional ini tidak terlepas dari kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam sistem inilah unsur-unsur kebudayaan Melayu Jambi dimasukkan. Setidak-tidaknya pemasukan unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dilakukan dalam tiga komponen: (1) kurikulum (muatan lokal), (2) pendekatan pembelajaran, dan (3) media dan alat pembelajaran. Sebagai kurikulum muatan lokal, berbagai ranah kebudayaan Melayu Jambi dijadikan materi pembelajaran. Seperti halnya mata pelajaran lain, mata pelajaran Kebudayaan Melayu Jambi mendapat ancangan dan perlakuan yang sama dengan pembelajaran mata pelajaran lain di sekolah bersangkutan. Secara material (subjek-matter), berbagai corak dan ragam budaya Melayu Jambi laik menjadi bahan pembelajaran. Akan tetapi, pertimbangan relevansi dan kontribusi aktual, sifat universal, dan mondial perlu menjadi kriteria penentuan prioritas. Dari berbagai khazanah budaya Melayu Jambi yang urgen untuk diapresiasi, diwariskan, dan dikembangkan dalam sistem pembelajaran adalah ranah-ranah yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakatnya, baik secara kognitif, psikomiotorik, maupun afektif. Ranah-ranah yang dimaksud adalah: (1) sejarah kebudayaan Melayu Jambi, (2) adat dan kepercayaan Melayu Jambi, (3) bahasa Melayu Jambi, (4) kesusastraan Melayu Jambi, (5) kesenian Melayu Jambi dalam berbagai jenisnya, dan (6) orientasi nilai-nlai masyarakat Melayu Jambi dalam perubahan dan perkembangannya. Keenam ranah tersebut dapat dilihat dari berbagai variasi dan genre dengan bertolak dari pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan nilai-nilai budaya itu sehingga dapat menunjukkan benang merah dari budaya Melayu Jambi. Dengan demikian, pada gilirannya diharapkan jati diri Melayu Jambi dapat dikukuhkan. Usaha menarik benang merah tersebut, berbagai aspek dari ranah-ranah tersebut perlu dikaji secara empiris dengan teori-teori yang sesuai. Guru sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran dapat melakukan pendekatan pembelajaran yang sarat dengan nilai-nilai budaya Melayu Jambi. Pendekatan-pendekatan klasikal dan kebersamaan, pendekatan kekerabatan, dan pendekatan personal (bukan dalam pengertian individual), sangat relevan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Apa pun mata pelajarannya, baik yang bersifat eksakta, pengetahuan sosial, maupun keterampilan ragawi, pada tujuan instruksional tertentu dapat dilakukan melalui pendekatan budaya lokal. Pendekatan-pendekatan yang bersumber dari nilai-nilai budaya lokal ini sebenarnya sudah sering dilakukan para guru di sekolah, tetapi pendekatan-pendekatan tersebut tidak pernah dirumuskan secara sistematik, sistemik, dan terukur. Pendekatan-pendekatan tersebut cenderung dilakukan tanpa disadari oleh guru atau bersifat naluriah. Unsur-unsur budaya Melayu Jambi, baik budaya material maupun budaya spiritual, dapat juga dijadikan media dan alat pembelajaran. Karya-karya budaya material tertentu dapat dijadikan alat, sumber, dan sarana pembelajaran. Begitu pula karya-karya budaya spiritual, seperti folklore verbal dan nonverbal dapat menjadi medium dalam pembelajaran mata pelajaran lain. Tradisi-tradisi yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Melayu Jambi dapat menjadi model, bahan perbandingan, dan ilustrasi dalam proses pencapaian tujuan instruksional mata pelajaran lain. Pewarisan kebudayaan Melayu Jambi melalui sistem pembelajaran diharapkan unsur-unsur budaya Melayu Jambi yang relevan akan tetap mengakar dan mendarah daging dalam jiwa masyarakat kelompok etnis Melayu Jambi sehingga jati diri Melayu Jambi tetap kukuh, kokoh, dan kita tetap hidup bermartabat. *Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu, Lembaga Penelitian Universitas Jambi |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar