Melayu Jambi dan Ritus
Saturday, 03 November 2007
Oleh: Dr Maizar Karim Elha MHum*
Jambi sebagai salah satu kelompok etnis Melayu di Nusantara selalu berpegang teguh kepada adat. Baik adat yang diadatkan, adat yang teradat, adat istiadat, maupun adat yang sebenar adat. Berbagai bentuk adat tersebut berpedoman pada ungkapan: adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Artinya, adat berintikan atau berlandaskan kepada hukum-hukum Islam, sedangkan hukum-hukum Islam bersumber kepada Al-Quran.
Dengan demikian, hampir semua orang Melayu Jambi beragama Islam. Meskipun kepercayaan Hindu tersebar luas di berbagai jagad Melayu beberapa abad lalu, tetapi pengaruh Islam terhadap orang Melayu Jambi telah mendarah daging. Sejak mereka melepaskan kepercayaan animisme dan menerima Islam pada masa imperium Melayu Islam. Orang-orang Melayu Jambi tidak pernah lagi beralih ke agama lain. Sebelum dan sesudah kedatangan Belanda, berbagai misi agama lain tidak mampu mengalihkan keyakinan orang-orang Melayu Jambi dari agama Islamnya. Orang Melayu Jambi yang mencoba pindah agama, akan mendapat sanksi dan hukuman berat dari keluarga serta lingkungannya.
Namun demikian, sikap individu atau orang perseorangan terhadap agama ini cukup berbeda. Ada yang percaya sepenuhnya dan tekun menjalankan ibadahnya, tetapi ada juga orang-orang yang kepercayaannya hanya dangkal saja dan tidak menjalankan ibadah sama sekali. Kita sudah melihat banyak orang Melayu Jambi yang jarang beribadah atau berpuasa sebagaimana diajarkan oleh ajaran Islam, tetapi cepat tersinggung jika agama Islam dikritik, terutama oleh orang non-Melayu. Ada juga orang-orang Melayu yang tidak mengenal “abc”-nya Islam, tetapi bila ditanya apa iman kepercayaannya, maka dengan bangga mereka akan menjawab, “Saya orang muslim.”
Kenyataan menunjukkan, pengaruh kepercayaan tradisional masih melekat kuat pada mereka. Manifestasi dari kepercayaan itu dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, medis, dan bahkan dalam masalah percintaan. Kepercayaan tradisional itu merupakan kelanjutan dari sistem kepercayaan sebelum masuknya agama Islam di daerah ini. Sukar sekali merekonstruksi sistem kepercayaan lama yang didasarkan pada apa yang disebut animisme. Dalam kepercayaan animisme orang percaya bahwa ada beberapa kekuatan adikodrati yang mendiami dan melindungi segala sesuatu di sekitar kehidupan manusia, seperti gunung, sungai, pohon, dan lain-lain.
Pada tingkat ritus, kita dapat melihat berbagai bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Melayu Jambi: di bidang perkawinan (sosial), bertani (ekonomi), dan perawatan orang sakit (medis). Dalam suatu perkawinan banyak dilakukan upacara, sepertri meminang, antar tanda, duduk bersanding, makan bersuap-suapan, dan lain-lain. Upacara semacam itu telah dilakukan oleh beberapa generasi sebagai suatu bagian dari kebudayaan Melayu. Dalam Islam tidak ada pernyataan yang jelas terungkap, apakah hal ini boleh atau tidak boleh dilakukan. Jika ada hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka mungkin menyangkut masalah pemborosan biaya dalam beberapa upacara--biaya mubazir yang bersifat kesombongan, misalnya--. Tetapi secara umum, jika upacara-upacara itu dilaksanakan secara biasa saja, maka upacara-upacara tersebut sangat dianjurkan. Perlu kiranya diingat bahwa sekalipun semua upacara tradisional dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin, namun perkawinan itu belum dapat dikatakan sah sebelum persyaratan Islam terpenuhi, seperti ijab kabul kedua mempelai di depan saksi-saksi. Di sini terlihat perpaduan antara ritus-ritus tradisional dan ritus-ritus Islam.
Dalam kegiatan bertani juga terdapat ritus-ritus yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan tradisional yang terkait dengan masalah ekonomi. Ada beberapa upacara untuk setiap tahap dalam kegiatan bertani atau bercocok tanam. Demikian pula halnya dalam pengobatan. Menurut kepercayaan tradisional, penyakit disebabkan oleh roh jahat atau setan yang merasuk dalam tubuh. Cara penyembuhannya adalah dengan mengusir roh tersebut, dan hanya seorang ahli kebatinan atau seorang dukun yang mampu melakukan hal itu, Sambil mengobati orang yang sakit itu, ia melakukan doa ritual. Biasanya ia membakar kemenyan sambil mengucapakan jampi-jampi. Beberapa doa penyembuhan lainnya digunakan bahasa Arab dan kadang-kadang ayat Al-Quran.
Peranan dukun dalam bidang ekonomi, politik, dan medis, sampai saat ini masih tetap berparan. Terlepas dari apakah jampi-jampi yang digunakan oleh para dukun itu bersifat putih (white magik), belang (bleng magik), ataupun hitam (black magik). Beberapa di antara mereka tidak mengetahui banyak hal mengenai Islam, tetapi ada juga yang taat beribadah dan mengatakan bahwa sumber pengetahuan mereka adalah Islam, terutama kitab suci Al-Quran.
Mereka berpendapat bahwa sebenarnya Allahlah yang menyebabkan segala sesuatu, sedangkan hantu, roh jahat, atau makhluk halus hanya sebagai perantara. Pertolongan apa pun yang didapat dari dukun-dukun tradisional, hanya dianggap sebagai ikhtiar. Jadi, apabila seorang dukun melaksanakan tugasnya, ia bertindak atas inisiatifnya sendiri. Apakah inisiatifnya itu akan berhasil atau tidak, itu tergantung seluruhnya pada kekuasaan Allah. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kepercayaan tradisional Melayu Jambi berpangkal pada kepercayaan Islam
Hantu dan roh jahat tidak terdapat dalam ajaran Islam dan mempercayainya sabagat bertentangan dengan ajaran Islam. Tentu saja, kitab suci Al-Quran menyatakan adanya makhluk-makhluk gaib seperti malaikat, jin, dan iblis. Tetapi bentuk, asal-usul, dan fungsi makhluk-makhluk gaib itu berbeda dari apa yang terdapat dalam kepercayaan tradisional itu.
Mengapa kepercayaan tradisional masih terus berlangsung di kalangan rakyat Melayu Jambi? Mungkin karena kepercayaan itu telah mendarah daging dalam kehidupan orang Melayu, dan merupakan bagian dari warisan kebudayaan Melayu. Keparcayaan tradisional itu berkaitan erat dengan nilai-nilai sosial-ekonomi dan kegiatan orang-orang Melayu, dan selama semuanya itu masih berlangsung, maka kepercayaan tradisional pun akan tetap ada. Meski ada kecenderungan menentang kepercayan tradisional ini, namun kecenderungan itu tidak kuat atau tidak efektif. Di daerah pedesaan tidak banyak orang beragama yang mengerti atau dapat menyatakan secara tegas bahwa kepercayaasn tradisional itu bertentangan dengan Islam dan seharusnya ditolak.
Masih berakarkuatnya kepercayaan tradisional di kalangan masyarakat Melayu, agaknya dapat pula dikatakan sebagai dangkalnya kepercayaan Islam di kalangan mereka. Disamping itu, mungkin karena ada kecenderungan bahwa metodologi pengajaran Islam seperti menganggap Islam sebagai unsur kebudayaan. Hal ini terlihat dari cara mewariskan Islam kepada anak-anak, cenderung seperti mewariskan unsur budaya dari orang tua kepada anak-anaknya, terjadi melalui proses sosialisasi. Malaui proses inilah anak-anak mengamati, meniru, dan melakukan apa yang dilakukan oleh orang tua mereka. Baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat terdapat kontrol sosial untuk memperoleh keyakinan bahwa anak-anak tidak menyimpang dari apa yang dilakukan oleh orang tua mereka.
Kecenderungan mengajarkan Islam sebagai unsur kebudayaan, terindikasi pula pada tekanan pengajaran lebih diarahkan pada ritus-ritus keagamaan, seperti biasa dilakukan tanpa memahami artinya.. Orang-orang yang biasanya tidak menjalankan sembahyang lima waktu, misalnya, akan berkumpul di masjid setiap hari Jumat dan terutama pada waktu sembahyang Id. Bagi mereka sembahyang itu tidak lebih daripada upacara keagamaan, Dengan demikian jika mereka sekali-sekali melakukannya di depan umum, maka anggota masyarakat akan mengetahui bahwa mereka benar-benar setia dan patuh pada agama Islam, Berdoa, tahlil, dan yasinan pun dilakukan sebagai suatu tujuan sosial. Hal ini menjadi suatu cara untuk menunjukkan identitas dan tidak lepas dari nilai sosial yang ada. Tetapi cara ini sunguh merendahkan arti dari keislaman itu sendiri, karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai filsafat dalam doa, tahlilan, dan yasinan, maka aspek sosialnya dianggap paling penting.
Ritus demi ritus dilakukan. Ritus-ritus itu dianggap merupakan bagian paling penting oleh kebanyakan orang, sedangkan inti atau esensi ajaran Islam sendiri cenderung diabaikan.
*Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu, Lembaga Penelitian Universitas Jambi
Senin, 18 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar