Rabu, 27 Februari 2008

Soal Landasan Kependidikan (Pasca-Unja)

NASKAH SOAL UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH : LANDASAN KEPENDIDIKAN
SEMESTER : GANJIL 2007/2008
PROGRAM STUDI : PROGRAM MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
KELAS : C
PROGRAM : PASCASARJANA UNIVERSITAS JAMBI
DOSEN : DR. MAIZAR KARIM


A. PETUNJUK
Jawablah soal berikut secara ringkas, jelas, dan tepat.

B. SOAL
1. Kemukakan dan jelaskanlah persoalan aktual pendidikan di Indonesia. Bandingkan dengan persoalan pendidikan di negara lain, seperti Amerika, Jepang, atau negara jiran!
2. Apakah landasan pendidikan Indonesia dapat memperkokoh sistem pendidikan Indonesia sehingga output sistem pendidikan Indonesia memiliki daya saing global? Jelaskan argumentasi Anda!
3. Kemukakan dan jelaskanlah komponen sistem pendidikan Indonesia yang perlu direformasi!


Semoga sukses!

Senin, 18 Februari 2008

Melayu Jambi dan Ritus

Melayu Jambi dan Ritus

Saturday, 03 November 2007
Oleh: Dr Maizar Karim Elha MHum*
Jambi sebagai salah satu kelompok etnis Melayu di Nusantara selalu berpegang teguh kepada adat. Baik adat yang diadatkan, adat yang teradat, adat istiadat, maupun adat yang sebenar adat. Berbagai bentuk adat tersebut berpedoman pada ungkapan: adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Artinya, adat berintikan atau berlandaskan kepada hukum-hukum Islam, sedangkan hukum-hukum Islam bersumber kepada Al-Quran.
Dengan demikian, hampir semua orang Melayu Jambi beragama Islam. Meskipun kepercayaan Hindu tersebar luas di berbagai jagad Melayu beberapa abad lalu, tetapi pengaruh Islam terhadap orang Melayu Jambi telah mendarah daging. Sejak mereka melepaskan kepercayaan animisme dan menerima Islam pada masa imperium Melayu Islam. Orang-orang Melayu Jambi tidak pernah lagi beralih ke agama lain. Sebelum dan sesudah kedatangan Belanda, berbagai misi agama lain tidak mampu mengalihkan keyakinan orang-orang Melayu Jambi dari agama Islamnya. Orang Melayu Jambi yang mencoba pindah agama, akan mendapat sanksi dan hukuman berat dari keluarga serta lingkungannya.
Namun demikian, sikap individu atau orang perseorangan terhadap agama ini cukup berbeda. Ada yang percaya sepenuhnya dan tekun menjalankan ibadahnya, tetapi ada juga orang-orang yang kepercayaannya hanya dangkal saja dan tidak menjalankan ibadah sama sekali. Kita sudah melihat banyak orang Melayu Jambi yang jarang beribadah atau berpuasa sebagaimana diajarkan oleh ajaran Islam, tetapi cepat tersinggung jika agama Islam dikritik, terutama oleh orang non-Melayu. Ada juga orang-orang Melayu yang tidak mengenal “abc”-nya Islam, tetapi bila ditanya apa iman kepercayaannya, maka dengan bangga mereka akan menjawab, “Saya orang muslim.”
Kenyataan menunjukkan, pengaruh kepercayaan tradisional masih melekat kuat pada mereka. Manifestasi dari kepercayaan itu dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, medis, dan bahkan dalam masalah percintaan. Kepercayaan tradisional itu merupakan kelanjutan dari sistem kepercayaan sebelum masuknya agama Islam di daerah ini. Sukar sekali merekonstruksi sistem kepercayaan lama yang didasarkan pada apa yang disebut animisme. Dalam kepercayaan animisme orang percaya bahwa ada beberapa kekuatan adikodrati yang mendiami dan melindungi segala sesuatu di sekitar kehidupan manusia, seperti gunung, sungai, pohon, dan lain-lain.
Pada tingkat ritus, kita dapat melihat berbagai bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat Melayu Jambi: di bidang perkawinan (sosial), bertani (ekonomi), dan perawatan orang sakit (medis). Dalam suatu perkawinan banyak dilakukan upacara, sepertri meminang, antar tanda, duduk bersanding, makan bersuap-suapan, dan lain-lain. Upacara semacam itu telah dilakukan oleh beberapa generasi sebagai suatu bagian dari kebudayaan Melayu. Dalam Islam tidak ada pernyataan yang jelas terungkap, apakah hal ini boleh atau tidak boleh dilakukan. Jika ada hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka mungkin menyangkut masalah pemborosan biaya dalam beberapa upacara--biaya mubazir yang bersifat kesombongan, misalnya--. Tetapi secara umum, jika upacara-upacara itu dilaksanakan secara biasa saja, maka upacara-upacara tersebut sangat dianjurkan. Perlu kiranya diingat bahwa sekalipun semua upacara tradisional dilakukan dengan cara yang sebaik mungkin, namun perkawinan itu belum dapat dikatakan sah sebelum persyaratan Islam terpenuhi, seperti ijab kabul kedua mempelai di depan saksi-saksi. Di sini terlihat perpaduan antara ritus-ritus tradisional dan ritus-ritus Islam.
Dalam kegiatan bertani juga terdapat ritus-ritus yang merupakan bagian dari sistem kepercayaan tradisional yang terkait dengan masalah ekonomi. Ada beberapa upacara untuk setiap tahap dalam kegiatan bertani atau bercocok tanam. Demikian pula halnya dalam pengobatan. Menurut kepercayaan tradisional, penyakit disebabkan oleh roh jahat atau setan yang merasuk dalam tubuh. Cara penyembuhannya adalah dengan mengusir roh tersebut, dan hanya seorang ahli kebatinan atau seorang dukun yang mampu melakukan hal itu, Sambil mengobati orang yang sakit itu, ia melakukan doa ritual. Biasanya ia membakar kemenyan sambil mengucapakan jampi-jampi. Beberapa doa penyembuhan lainnya digunakan bahasa Arab dan kadang-kadang ayat Al-Quran.
Peranan dukun dalam bidang ekonomi, politik, dan medis, sampai saat ini masih tetap berparan. Terlepas dari apakah jampi-jampi yang digunakan oleh para dukun itu bersifat putih (white magik), belang (bleng magik), ataupun hitam (black magik). Beberapa di antara mereka tidak mengetahui banyak hal mengenai Islam, tetapi ada juga yang taat beribadah dan mengatakan bahwa sumber pengetahuan mereka adalah Islam, terutama kitab suci Al-Quran.
Mereka berpendapat bahwa sebenarnya Allahlah yang menyebabkan segala sesuatu, sedangkan hantu, roh jahat, atau makhluk halus hanya sebagai perantara. Pertolongan apa pun yang didapat dari dukun-dukun tradisional, hanya dianggap sebagai ikhtiar. Jadi, apabila seorang dukun melaksanakan tugasnya, ia bertindak atas inisiatifnya sendiri. Apakah inisiatifnya itu akan berhasil atau tidak, itu tergantung seluruhnya pada kekuasaan Allah. Oleh karena itu, jelaslah bahwa kepercayaan tradisional Melayu Jambi berpangkal pada kepercayaan Islam
Hantu dan roh jahat tidak terdapat dalam ajaran Islam dan mempercayainya sabagat bertentangan dengan ajaran Islam. Tentu saja, kitab suci Al-Quran menyatakan adanya makhluk-makhluk gaib seperti malaikat, jin, dan iblis. Tetapi bentuk, asal-usul, dan fungsi makhluk-makhluk gaib itu berbeda dari apa yang terdapat dalam kepercayaan tradisional itu.
Mengapa kepercayaan tradisional masih terus berlangsung di kalangan rakyat Melayu Jambi? Mungkin karena kepercayaan itu telah mendarah daging dalam kehidupan orang Melayu, dan merupakan bagian dari warisan kebudayaan Melayu. Keparcayaan tradisional itu berkaitan erat dengan nilai-nilai sosial-ekonomi dan kegiatan orang-orang Melayu, dan selama semuanya itu masih berlangsung, maka kepercayaan tradisional pun akan tetap ada. Meski ada kecenderungan menentang kepercayan tradisional ini, namun kecenderungan itu tidak kuat atau tidak efektif. Di daerah pedesaan tidak banyak orang beragama yang mengerti atau dapat menyatakan secara tegas bahwa kepercayaasn tradisional itu bertentangan dengan Islam dan seharusnya ditolak.
Masih berakarkuatnya kepercayaan tradisional di kalangan masyarakat Melayu, agaknya dapat pula dikatakan sebagai dangkalnya kepercayaan Islam di kalangan mereka. Disamping itu, mungkin karena ada kecenderungan bahwa metodologi pengajaran Islam seperti menganggap Islam sebagai unsur kebudayaan. Hal ini terlihat dari cara mewariskan Islam kepada anak-anak, cenderung seperti mewariskan unsur budaya dari orang tua kepada anak-anaknya, terjadi melalui proses sosialisasi. Malaui proses inilah anak-anak mengamati, meniru, dan melakukan apa yang dilakukan oleh orang tua mereka. Baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat terdapat kontrol sosial untuk memperoleh keyakinan bahwa anak-anak tidak menyimpang dari apa yang dilakukan oleh orang tua mereka.
Kecenderungan mengajarkan Islam sebagai unsur kebudayaan, terindikasi pula pada tekanan pengajaran lebih diarahkan pada ritus-ritus keagamaan, seperti biasa dilakukan tanpa memahami artinya.. Orang-orang yang biasanya tidak menjalankan sembahyang lima waktu, misalnya, akan berkumpul di masjid setiap hari Jumat dan terutama pada waktu sembahyang Id. Bagi mereka sembahyang itu tidak lebih daripada upacara keagamaan, Dengan demikian jika mereka sekali-sekali melakukannya di depan umum, maka anggota masyarakat akan mengetahui bahwa mereka benar-benar setia dan patuh pada agama Islam, Berdoa, tahlil, dan yasinan pun dilakukan sebagai suatu tujuan sosial. Hal ini menjadi suatu cara untuk menunjukkan identitas dan tidak lepas dari nilai sosial yang ada. Tetapi cara ini sunguh merendahkan arti dari keislaman itu sendiri, karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai filsafat dalam doa, tahlilan, dan yasinan, maka aspek sosialnya dianggap paling penting.
Ritus demi ritus dilakukan. Ritus-ritus itu dianggap merupakan bagian paling penting oleh kebanyakan orang, sedangkan inti atau esensi ajaran Islam sendiri cenderung diabaikan.
*Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu, Lembaga Penelitian Universitas Jambi

Dalil Disertasi


SYAIR MAMBANG JAUHARI:
Telaah Filologi dan Struktural-Semiotik
Maizar Karim
NPM L3I01004

DALIL-DALIL

1. Karya sastra akan berfungsi di tengah masyarakat bila dimaknai berdasarkan tanda-tanda yang terdapat di dalamnya.
2. Penelaahan yang bersifat intrinsik terhadap karya sastra akan selalu aktual dalam disiplin ilmu sastra karena tanpa mengenal struktur intrinsik, peneliti akan sulit menjelaskan faktor-faktor ekstrinsik dari karya tersebut.
3. Karya sastra dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan empati dalam diri seseorang guna merasakan apa yang dialami atau yang sedang terjadi di luar kelompoknya.
4. Karya sastra dapat dijadikan sebagai sarana konservasi dan medium pewarisan nilai-nilai budaya.
5. Konservasi sosial dapat diperoleh melalui agama, kekuatan hukum, dan adat-istiadat,
6. Keselarasan antarpersonal atau harmoni mikrokosmos akan dapat menciptakan keselarasan sosial atau harmoni makrokosmos.
7. Pendidikan pada suatu masyarakat akan lebih berkembang apabila budaya membaca dan menulis pada masyarakat itu tumbuh dan berkembang dengan baik.

Sabtu, 19 Januari 2008

Pengukuhan Jati Diri Melayu Jambi


Pengukuhan Jati Diri Melayu Jambi
Thursday, 08 November 2007

Oleh: Dr Maizar Karim Elha Hum*

Melayu Jambi sebagai salah satu kelompok subetnis Melayu di Nusantara, saat ini berada pada ambang krisis identitas. Jati diri sebagai kelompok etnis Melayu Jambi telah digerogoti oleh berbagai arus. Arus yang paling dominan adalah globalisasi. Arus ini menggiring dengan deras budaya asing, sehingga budaya lokal Melayu Jambi terpinggirkan atau mungkin lambat laun hilang tak jelas kabar dan kuburnya.

Hal ini dapat dipahami, Jambi adalah wilayah cukup luas dan penduduknya berjumlah relatif besar. Maka tak pelak lagi Jambi amat tepat untuk dijadikan pasar bagi penjualan hasil (produk) penemuan negara-negara indusri maju. Seiring dengan masuknya hasil penemuan baru tersebut, yang datang secara beruntun dan sulit dihindarkan, maka nilai-nilai budaya luar yang tidak semuanya sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan norma-norma masyarakat pun tidak dapat dihindari. Materialisme, individualisme, dan hedonisme, misalnya, menyusup dan mencari tanah subur. Sementara itu, kesiapan jiwani (mental) masyarakat belum mencapai titik mantap. Bagaimana mungkin masyarakat desa yang tingkat pendidikannya masih rendah bisa menyaring luberan informasi yang menemukan jalannya lewat media cetak dan pandang-dengar (audio visual)? Dalam keadaan demikian, pola hidup konsumerisme berpeluang untuk semakin menggejala. Padahal kemampuan untuk menghasilkan (keproduktifan) dan daya cipta (kekreatifan) rakyat belum seberapa. Kesenjangan antara keinginan dan kemampuan pun tercipta. Celah rawan antara harapan dan kenyataan pun menguak.

Ditilik dari ranah nilai-nilai, kita menyaksikan betapa nilai ekonomi tampil mengungguli nilai-nilai lainnya, seperti teori, solidaritas, agama, dan seni. Seseorang, baru dianggap berhasil bila mana hidupnya bergelimang harta. Dia merasa kehormatan, harkat, dan martabat manusia semata-mata ditentukan oleh tingkat pendapatannya. Kemiskinan dilihat dan diartikan menurut ukuran ekonomi. Cara pandang (word-view) yang berakar dari materialisme itu menggejala pula di Indonesia dan menggerogoti masyarakat daerah Jambi. Sebagai akibatnya, timbullah persaingan tajam dalam menjangkau kepuasan ekonomis, ragawi, dan duniawi. Mereka yang memiliki modal selalu tampil sebagai pemenang. Selebihnya terpuruk ke belakang sebagai orang-orang yang kalah.

Mereka yang terpuruk ke belakang cukup banyak jumlahnya, tersingkir oleh sengitnya persaingan tajam yang melecehkan nilai-nilai kebersamaan (solidaritas) dan kemanusian. Keresahan dan ketidakpastian di kalangan masyarakat tentulah semakin meningkat manakala pelaksanaan hukum ternyata timpang, tidak lagi memihak pada keadilan dan kebenaran. Masyarakat pun kehilangan pegangan. Sudah terjerembab dalam lembah kemiskinan ragawi, terjangkit pula kemiskinan jiwani. Dengan demikian, masyarakat kehilangan daya hidupnya, karena mereka kehilangan inti kebudayaannya. Mereka tercerabut dari akar budayanya, yang pada gilirannya akan kehilangan jati diri, harkat, dan martabatnya.

Untuk mengatasi semua problematika di atas, bukanlah pekerjaan yang mudah. Kita harus mencari peluang yang strategis. Peluang yang perlu disiasati adalah pada bidang pendidikan. Baik pendidikan formal, informal, maupun nonformal.adalah ranah yang harus dikelola dengan sistem pendidikan berbasis kebudayaan.

Dalam kenyataannya, sistem pendidkkan di Indonesia masih menganut sistem pendidikan barat. Sejak introduksi pada awal abad 20, sistem pendidikan berorientasi pada ciri yang ekonometris. Hal itu tampak pada tujuan pendidikan yang lebih banyak berorientasi pada kepentingan ekonomi. Dasar pendekatannya pun bersifat empirik dan berkecenderungan memperlakukan setiap disiplin ilmu sebagai science (dalam konsep positivisme), termasuk juga pada disiplin “ilmu” seni dan humaniora. Malah pada abad 21 ini, sistem pendidkan di Indonesia justru berpijak pada sistem pendidkkan liberal.

Agaknya untuk membangun sistem pendidkkan berbasis kebudyaan, apalagi kebudayaan Melayu adalah sebuah utopia atau mungkin hanya sebagai menggantang asap. Dinding-dinding beton materialisme dan individualisme menghalangi spiritualisme dan humanisme. Namun demikian, kita tidak harus putus asa dan pesimistis. Untuk menembus tembok-tembok tersebut harus dilakukan secara evolusioner.. Jati diri kelompok etnis Melayu yang spiritualistis harus tetap dikukuhkan, sehingga dalam kehidupan masyarakatnya tercipta harmoni, baik antara dunia material dan spiritual ataupun antara dunia mikrokosmos dengan makrokosmos. Peluang strategis yang masih bisa dilakukan, antara lain dengan memasukkan unsur-unsur budaya lokal tersebut dalam prosesi pendidikan kita, terutama dalam sistem pembelajaran.

Sistem pembelajaran dalam prosesi pendidikan yang dimaksud di sini adalah daya upaya pendidikan yang dilakukan guru-guru pada satu sekolah atau antarsekolah di suatu lokasi daerah tertentu semata-mata dengan tujuan mendorong efektivitas hasil belajar baik dalam artian pembelajaran di kelas maupun di tempat-tempat pembinaan lain. Jadi, sistem instruksional ini tidak terlepas dari kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam sistem inilah unsur-unsur kebudayaan Melayu Jambi dimasukkan. Setidak-tidaknya pemasukan unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dilakukan dalam tiga komponen: (1) kurikulum (muatan lokal), (2) pendekatan pembelajaran, dan (3) media dan alat pembelajaran.

Sebagai kurikulum muatan lokal, berbagai ranah kebudayaan Melayu Jambi dijadikan materi pembelajaran. Seperti halnya mata pelajaran lain, mata pelajaran Kebudayaan Melayu Jambi mendapat ancangan dan perlakuan yang sama dengan pembelajaran mata pelajaran lain di sekolah bersangkutan. Secara material (subjek-matter), berbagai corak dan ragam budaya Melayu Jambi laik menjadi bahan pembelajaran. Akan tetapi, pertimbangan relevansi dan kontribusi aktual, sifat universal, dan mondial perlu menjadi kriteria penentuan prioritas.

Dari berbagai khazanah budaya Melayu Jambi yang urgen untuk diapresiasi, diwariskan, dan dikembangkan dalam sistem pembelajaran adalah ranah-ranah yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakatnya, baik secara kognitif, psikomiotorik, maupun afektif. Ranah-ranah yang dimaksud adalah: (1) sejarah kebudayaan Melayu Jambi, (2) adat dan kepercayaan Melayu Jambi, (3) bahasa Melayu Jambi, (4) kesusastraan Melayu Jambi, (5) kesenian Melayu Jambi dalam berbagai jenisnya, dan (6) orientasi nilai-nlai masyarakat Melayu Jambi dalam perubahan dan perkembangannya.

Keenam ranah tersebut dapat dilihat dari berbagai variasi dan genre dengan bertolak dari pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan nilai-nilai budaya itu sehingga dapat menunjukkan benang merah dari budaya Melayu Jambi. Dengan demikian, pada gilirannya diharapkan jati diri Melayu Jambi dapat dikukuhkan. Usaha menarik benang merah tersebut, berbagai aspek dari ranah-ranah tersebut perlu dikaji secara empiris dengan teori-teori yang sesuai.

Guru sebagai salah satu komponen sistem pembelajaran dapat melakukan pendekatan pembelajaran yang sarat dengan nilai-nilai budaya Melayu Jambi. Pendekatan-pendekatan klasikal dan kebersamaan, pendekatan kekerabatan, dan pendekatan personal (bukan dalam pengertian individual), sangat relevan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Apa pun mata pelajarannya, baik yang bersifat eksakta, pengetahuan sosial, maupun keterampilan ragawi, pada tujuan instruksional tertentu dapat dilakukan melalui pendekatan budaya lokal. Pendekatan-pendekatan yang bersumber dari nilai-nilai budaya lokal ini sebenarnya sudah sering dilakukan para guru di sekolah, tetapi pendekatan-pendekatan tersebut tidak pernah dirumuskan secara sistematik, sistemik, dan terukur. Pendekatan-pendekatan tersebut cenderung dilakukan tanpa disadari oleh guru atau bersifat naluriah.

Unsur-unsur budaya Melayu Jambi, baik budaya material maupun budaya spiritual, dapat juga dijadikan media dan alat pembelajaran. Karya-karya budaya material tertentu dapat dijadikan alat, sumber, dan sarana pembelajaran. Begitu pula karya-karya budaya spiritual, seperti folklore verbal dan nonverbal dapat menjadi medium dalam pembelajaran mata pelajaran lain. Tradisi-tradisi yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Melayu Jambi dapat menjadi model, bahan perbandingan, dan ilustrasi dalam proses pencapaian tujuan instruksional mata pelajaran lain.

Pewarisan kebudayaan Melayu Jambi melalui sistem pembelajaran diharapkan unsur-unsur budaya Melayu Jambi yang relevan akan tetap mengakar dan mendarah daging dalam jiwa masyarakat kelompok etnis Melayu Jambi sehingga jati diri Melayu Jambi tetap kukuh, kokoh, dan kita tetap hidup bermartabat.

*Ketua Pusat Penelitian Budaya Melayu, Lembaga Penelitian Universitas Jambi